RSS
Hello! Welcome to this blog. You can replace this welcome note thru Layout->Edit Html. Hope you like this nice template converted from wordpress to blogger.

Pages

Filosopi Kopi


Ringan, tetapi Nikmat Diminum

Resensi › Andreas Rossi Dewantara
Penilaian penulis:  
 (7/10)
Dewi “Dee” Lestari adalah salah satu penulis Indonesia di era sekarang yang tulisannya paling banyak diangkat ke layar lebar. Menyusul Rectoverso, Perahu Kertas, Madre, dan Supernova,sebuah cerita pendeknya yang berjudul Filosofi Kopi diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama. Uniknya, Angga Dwimas Sasongko, sang sutradara, mengikutsertakan para penggemar Dee dalam proses produksi film ini, melalui aplikasi telepon pintar dan kampanye crowdsourcing.
Film Filosofi Kopi adalah tentang dua anak muda pemilik kedai kopi yang juga bernama Filosofi Kopi. Ben (Chicco Jerikho), sang peracik kopi, adalah tipikal orang dengan obsesi. Bagi Ben, kopi adalah sesuatu yang ia tidak akan kompromikan dengan apapun. Jody (Rio Dewanto), yang mengurusi keuangan, berkebalikan drastis dari Ben. Ia logis, penuh kalkulasi untung-rugi, dan lebih mementingkan penghasilan daripada pengalaman meminum kopi yang selalu ditekankan oleh Ben. Perbedaan kepribadian ini yang berulang kali menjadi konflik, seperti perdebatan mengenai perlu tidaknya memasang jaringan wi-fi untuk menarik pelanggan, atau memakai biji kopi berkualitas rendah yang harganya lebih murah. Ben seringkali menganggap Jody gila karena mengorbankan esensi menikmati kopi demi laba, sementara Jody juga kerap menganggap Ben gila karena tidak mau memikirkan keadaan ekonomi mereka yang terjerat hutang besar.
Suatu hari, datanglah seorang pria paruh baya yang berkunjung ke Filosofi Kopi. Ia tertarik kepada Filosofi Kopi setelah membaca sebuah ulasan di koran. Sang pria tadi mempunyai tender proyek dengan seorang pengusaha yang begitu menggilai kopi. Ia menantang Ben dan Jody untuk membuat sebuah racikan house blend dengan rasa seenak mungkin demi memuluskan tender tersebut. Jika Ben dan Jody berhasil, ia menjanjikan mereka uang 100 juta rupiah. Ben menyanggupi, bahkan berani menantang balik sang pria. Jika Ben berhasil membuat kopi paling enak, sang pria harus membayar satu milyar rupiah kepada mereka. Namun jika Ben gagal, ia menyanggupi untuk membayar pria tersebut uang dengan nilai nominal yang sama. Ide ini ditentang habis-habisan oleh Jody, yang mengingatkan Ben tentang hutang-hutang mereka. Akan tetapi Ben yakin bahwa uang semilyar tadi lah yang bisa melunasi hutang dan mengembangkan Filosofi Kopi. Hal ini membuat Jody mengalah dan mengikuti kemauan Ben. Demi memenangkan tantangan tersebut mereka berburu biji kopi yang mahal di pelelangan. Sepanjang waktu, Ben bereksperimen dengan kopi-kopinya menggunakan berbagai macam teknik yang canggih, hingga akhirnya terciptalah racikan mahakarya yang ia beri nama Ben’s Perfecto.
Ben’s Perfecto menjadi laris manis dan semuanya nampak sempurna, sampai datanglah El (Julie Estelle), seorang blogger kuliner sekaligus Q-grader (penilai kualitas kopi) bersertifikat internasional. El tertarik dengan klaim kesempurnaan yang disematkan Ben pada kreasinya. Sesesap kemudian, Ben dan Jody dibuat terhenyak oleh komentar El. Menurut El, Ben’s Perfecto bukanlah kopi terenak yang pernah ia rasakan. Kopi terenak itu justru ada di kawasan Kawasan Ijen, yakni milik Pak Seno (Slamet Rahardjo Djarot) dan istrinya (Jajang C Noer). Kopi itu diberi nama Kopi Tiwus. Sementara Ben tidak terima hasil karyanya dikalahkan kopi dari kampung, Jody percaya bahwa Kopi Tiwus lah yang bisa menyelamatkan mereka. Bersama El, mereka pergi menuju ke Kawah Ijen. Di sana, mereka tak hanya menemukan kopi terenak, tetapi juga menemukan diri mereka sendiri.
Pengembangan Cerita
Yang patut diapresiasi dari film ini adalah usaha si penulis naskah (Jenny Jusuf) untuk mengembangkan kisah dari cerita aslinya yang terbatas. Di dalam cerpennya sendiri, tidak ada jendela untuk melihat ke dalam motivasi karakter Ben dan Jody. Perbedaan dominasi antara logika (dalam Jody) maupun emosi (dalam Ben) adalah perbedaan yang arketipikal, alias mengulang tipe karakter serupa yang sudah-sudah. Di dalam adaptasi filmnya, ada usaha dari Jenny Jusuf untuk memberikan latar belakang dari karakter-karakter ini. Jody menjadi begitu perhitungan karena dia terlilit hutang tinggalan ayahnya. Ben terobsesi dengan kopi karena pengaruh didikan ayahnya mengenai kopi semasa ia kecil. Dua hal ini tidak ada dalam cerpennya. Begitu juga dengan yang menjadi dasar adanya tantangan kepada Ben dan Jody. Dalam cerpen, tantangan tersebut ada karena narsisisme seorang pengusaha yang ingin menikmati secangkir kopi yang sempurna–sebagaimana pengusaha tersebut memandang dirinya sendiri. Dengan mengubahnya menjadi motivasi ekonomis (untuk memuluskan tender), setidaknya ia satu tingkat lebih realistis, karena toh memakai jamuan dan makan/minum enak juga sering dipakai dalam lobi dan dunia bisnis.
Sisi yang lain juga ditambahkan ke dalam film. Terdapat hubungan tidak baik antara ayah dan anak yang terungkap lewat dialog dan kilas balik karakter-karakternya. Meskipun hal ini sesungguhnya arketipikal juga, Filosofi Kopi menceritakan subplot ini dengan efektif: tidak terlalu pendek hingga gagal berdiri, namun juga tidak terlalu panjang hingga menjadi distraksi. Lagi-lagi, ada jendela ke dalam motivasi di balik karakter-karakternya. Pada akhirnya, film ini bukan hanya tentang bagaimana seseorang menerima ketidaksempurnaannya sendiri, melainkan juga tentang menerima ketidaksempurnaan orang lain.
Meskipun demikian, ada beberapa hal masih menimbulkan pertanyaan di dalam film ini. Yang pertama adalah bagaimana kedai kopi selaris dan setenar Filosofi Kopi dapat mengalami kesulitan keuangan, apalagi jika tempatnya tidak perlu menyewa dan pengelolaannya dilakukan dengan cermat. Yang lain adalah bagaimana El yang seorang Q-grader tidak menunjukkan kualitasnya sebagai seorang penilai kopi yang bersertifikat internasional. Alih-alih mengelaborasi penilaiannya terhadap Ben’s Perfecto dan Kopi Tiwus, pendapatnya terbatas pada kata “lumayan” dan “enak”. Mungkin sang penulis skenario sengaja mengorbankan karakter El sehingga filmnya tidak menjadi terlalu teknis, sehingga tidak mengalienasi penonton-penonton yang awam tentang dunia perkopian.
Ada pula secuplik cerita mengenai konflik agraria yang disisipkan lewat keluarga Ben. Keluarga Ben adalah salah satu keluarga petani kopi yang melawan pihak yang hendak mengubah daerah penghasil kopi itu menjadi perkebunan sawit. Ibu Ben meninggal karena konflik tersebut. Ini kemudian membuat ayahnya membenci kopi setengah mati. Sayangnya, bagian ini muncul terlalu singkat untuk dapat menyatakan sikapnya mengenai konflik pertanahan. Kita tidak pernah tahu seperti apa akhir dari sengketa lahan tadi, serta apa yang terjadi kepada petani-petani kopi lainnya. Kita juga tidak tahu mengapa daerah tadi di akhir film menjadi daerah penghasil sayur-sayuran, bukannya perkebunan sawit. Akan lebih membantu, misalnya, jika apa yang terjadi kepada ayah Ben setelah istrinya meninggal dan anaknya kabur dari rumah juga diceritakan dalam film.
Selain dari penulis naskah, rasanya patut juga mengapresiasi Roby Taswin selaku sinematografer. Lewat shot-shot­ close up-nya tentang kopi, mulai dari merawat tanaman kopi, memanggang biji, menyajikan, hingga menikmatinya, sentralitas kopi dalam film Filosofi Kopi menjadi muncul lewat gambar-gambarnya. Hal ini bisa kita bandingkan dengan Madre, film serupa yang tidak menunjukkan pentingnya sebuah biang roti dalam semesta ceritanya. Dari segi scoring, denting-denting yang sederhana (atau bahkan senyap) dalam adegan-adegan yang emosional bisa dilihat sebagai usaha untuk menghindarkan efek dramatisasi yang berlebihan. Dan ini juga selayaknya diapresiasi.
Filosofi Kopi bukan film yang penuh filosofi. Cerita-cerita tentang obsesi, persahabatan, penemuan jati diri, serta rekonsiliasi hubungan anak dan orang tua juga tidak menawarkan hal yang baru. Maka, jika diibaratkan kopi, ia bukan kopi tubruk, apalagi kopi tubruk yang dibuat dari biji Kopi Tiwus. Film ini adalah secangkir cappuccino: ringan, tetapi nikmat diminum.

'Comic 8: Casino Kings Part 1': Dari Efek CGI hingga Parodi'

'Comic 8: Casino Kings Part 1': Dari Efek CGI hingga Parodi'


http://images.detik.com/content/2015/07/24/620/144614_comiccov.jpg
Jakarta -
Di awal film, para komika perampok Bank Ini dari film 'Comic 8' (dan tambahan beberapa karakter baru), diceritakan terdampar di sebuah hutan yang dipenuhi buaya-buaya ganas berukuran lebih besar dari buaya normal. Ditambah, ada satu buaya yang bahkan seukuran reptil purba dari zaman Dinosaurus. Mereka terlihat linglung, tak sadar bagaimana bis terbangun di dalam hutan tersebut, lalu satu per satu diterkam buaya-buaya itu.

Jangan bayangkan adegan tersebut penuh kengerian layaknya film horor. Tentu saja adegan tadi sekedar buat lucu-lucuan dan seru-seruan saja. Begitulah film ini bermula, selepas adegan dikejar buaya tadi, judul 'Comic 8: Casino Kings Part 1' (selanjutnya disebut ‘Casino Kings’) muncul memenuhi layar. Pembukaan film ini nampak seperti film-film James Bond yang legendaris itu (atau juga 'Pintu Terlarang') -- lengkap dengan animasi opening credit title-nya.

Lantas adegan-adegan selanjutnya tumpang tindih. Plot bergerak tak linear, membuat alur cerita jadi agak membingungkan namun tak sampai membuatnya jadi membosankan. Menjelang akhir film saya baru sadar bahwa sutradara Anggy Umbara sedang mengulang formula yang sama yang dipakainya pada film pertama. Presentasi film ini pun masih sama lengkap dengan kehadiran subtitle chapter-chapter pengenalan karakter.

Di ending 'Comic 8' Indro menugaskan delapan anak buahnya untuk menjadi komika, sementara rival-rivalnya (Pandji, Agung Hercules, Nikita Mirzani) dibui. Kini, Indro memberi tugas kepada mereka untuk mencari seorang komika penghubung kepada "The King" (diperankan oleh Sophia Latjuba), atau mungkin ada "The King" lainnya yang belum kita ketahui mengingat judul film ini memakai kata "Kings" sebagai penanda jamak. Ia adalah pemilik kasino paling besar (sekaligus misterius?) di Asia. Misi mereka adalah menangkap The King. Motifnya? Sampai film ini berakhir tidak diketahui, mungkin baru akan terungkap di ‘Part 2’ yang bakal tayang awal tahun depan.

Yang paling membedakan 'Casino Kings' dari film pertama adalah nuansa parodi terhadap film-film lain (Hollywood; 'Almost Famous' dan terutama dua film 'The Raid') teramat menonjol. Dan, seakan disengaja menjadi jualan utama film ini. Untuk hal ini saya agak menyayangkannya mengingat 'Comic 8' pernah menawarkan hal baru dan menyuguhkan cerita yang segar dalam khazanah perfilman nasional.

Kadar lawakan 'Casino Kings' terasa menurun jika dibandingkan dengan 'Comic 8', lebih banyak miss ketimbang hit-nya. Belum lagi, banyak humor-humor parodi yang terasa sekedar “for the sake of its own joke”, misalnya adegan pengakuan gay --parodi 'Almost Famous' yang hadir tanpa implikasi apa-apa terhadap jalinan cerita.

Lalu ada penampilan cameo dari Ray Sahetapy yang seolah mengulang perannya dalam 'The Raid'; ia memperhatikan para komika yang diteror di dalam hutan lewat monitor kamera CCTV. Adegan ini sekaligus "membocorkan" bahwa 'Casino Kings' sesungguhnya adalah parodi dari 'The Hunger Games'? Entahlah, karena keseluruhan durasi 104 menit film ini barulah setengah durasi dari keseluruhan cerita yang mana bakal berakhir di ‘Part 2’.

10 Film Keluaran Indonesia Yang Jebol Pasar Perfilman Dunia

10 Film Keluaran Indonesia Yang Jebol Pasar Perfilman Dunia
1. The Raid : Redemption
The Raid merupakan film Indonesia pertama yang masuk box office Amerika Serikat (AS) dan pernah bertengger pada urutan 11 sebagai film yang paling banyak ditonton di bioskop AS. Film yang menonjolkan beladiri asli Indonesia yakni Pencak Silat ini diputar di 875 bioskop di AS. Selain di AS, film ini juga diputar dibeberapa negara lainnya. Mengutip dari Cekricek.com, The Raid telah menyabet 3 penghargaan bergengsi dunia, antara lain Cadillacs People’s Choice Award, Toronto International Film Festival 2011 dan The Best Film sekaligus Audience Award- Jameson Dublin International Film Festival.
Untuk diketahui, film ini diproduseri oleh Ario Sagantoro dan disutradari oleh Evan H Garet serta dibintangi oleh Iko Uwais, Yayan Ruhian, Ray Sahetapy, Joe Taslim, Dony Alamsyah, Pierre Gruno dan Tegar Satrya. The Raid juga diikutkan dalam Festival Film Sundance 2012 dan menjadi film favorit versi juri. Film ini juga dikabarkan akan diremake (dibuat ulang) oleh Screen Gems, anak perusahaan Sony Entertainment.
Setelah hak siarnya di AS dibeli oleh Sony Pictures Classic, Sony menggandeng Mike Shinoda dari Linkin Park sebagai penata musik (music score) film tersebut.
2. Modus Anomali
Film yang diproduksi oleh Lifelike Pictures ini diproduseri Sheila Timothy dan dinilsi berhasil karena mendapat apresiasi positif di berbagai kancah film dunia. Setelah melakukan world premiere di festival film terbesar kedua di Amerika Serikat yakni South By Southwest (SXSW) 2012, di Austin, Texas pada 9-17 Maret 2012 lalu, film besutan sutradara Joko Anwar ini mendapat sorotan luas.
Film ini juga terpilih ditayangkan pada “Midnighters”, sebuah seksi acara khusus yang menampilkan film-film terpilih bergenre fantastik untuk ditayangkan pada tengah malam. Film yang dibintangi Rio Dewanto ini juga mendapat tanggapan positif dari para kritikus dan blogger film di Amerika.
Modus anomali sempat pula meraih sejumlah penghargaan, antara lain Bucheon Award di Korea Selatan. Setelah menyabet penghargaan bergengsi ini, beberapa investor film mancanegara dikabarkan menyatakan ketertarikan mereka untuk dilibatkan dalam proses produksinya.
Film Indonesia yang menggunakan bahasa Inggris ini memang ditargetkan untuk pasar luar negeri. Film thriller ini bercerita tentang seorang lelaki yang harus menyelamatkan keluarganya yang hilang saat sedang berlibur di sebuah hutan. Di hutan itu, dia harus berjuang menghindari kejaran seorang pembunuh misterius.
3. The Witness
Film Indonesia yang juga mendapat sambutan hangat di negara lain, adalah The Witness, film bergenre thriller. Film yang disutradarai Muhammad Yusuf ini sudah tayang di Filipina sejak 21 Maret lalu. Untuk pertama kalinya film Indonesia dapat tayang secara komersil di sana, tidak sebatas sebagai pengisi di festival film saja.
Sebelum ditayangkan untuk umum, Cinema Evaluation Board (CEB), sebuah badan resmi dari Dewan Pengembangan Film Filipina, memberi nilai A untuk The Witness. Tak cuma itu, sejumlah media Filipina bahkan berpendapat sineas-sineas Filipino harus belajar membuat film dari Indonesia.
Tak hanya di Filipina, menurut produser Sarjono Sutrisno, The Witness juga akan diputar di sejumlah negara Asia. “Rencananya Juni akan tayang di Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Dubai. Kami mau kuatkan dulu di Asia,” ujarnya.
Film untuk 18 tahun ke atas ini bercerita tentang seorang wanita bernama Angel (Gwen Zamora) yang dihantui mimpi aneh. Ia bermimpi ada pemuda mencoba bunuh diri dengan menembakkan senjatanya sendiri ke mulut. Film ini akan mulai diputar di bioskop Tanah Air pada 26 April 2012 mendatang. (dikutip dari Fajar.co.id)
4. Lovely Man
Lovely Man merupakan film Indonesia yang masuk nominasi Osaka Asian Film Festival, Jepang bersama film Indonesia lainnya yang berjudul Langit Biru. Fajar.co.id menulis bahwa terpilihnya dua film dari Indonesia ini merupakan hal yang istimewa karena setiap tahun Festival Film di Osaka hanya memilih satu film dari masing-masing negara peserta. Menurut panitia, kedua film ini dinilai layak masuk kualifikasi karena kualitas dan keunikannya. Pada ajang tersebut akhirnya Lovely Man berhasil meraih penghargaan Best Actor untuk Donny Damara
Film Lovely Man sempat diputar di bioskop Cine Nouveau. Film yang disutradarai Teddy Soeriaatmadja ini pun mampu menyedot cukup banyak penonton di Jepang yang tertarik dengan film-film Asia berkualitas. Di dalam negeri sendiri, film ini meraih penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik yakni Donny Damara pada ajang Indonesian Movie Award (IMA) 2012.
Film ini pada dasarnya merupakan film keluarga yang menceritakan hubungan ayah dan anak yang sudah lama tidak saling bertemu. Dalam film ini disajikan sosok anak yang santun, berjilbab dan seorang lulusan pesantren, yang akhirnya bertemu dengan sang ayah yang bergulat dengan hidup yang keras sebagai waria di Ibukota Jakarta. Salah seorang penonton Jepang berkomentar, “Film Indonesia lebih mudah dipahami dalam menyampaikan pesannya, dibandingkan film Jepang yang selalu cenderung rumit
Sementara itu, film musikal anak-anak Langit Biru diputar di Umeda Garden Cinema. Dalam film tersebut, sang sutradara, Lasja F. Susatyo, menggambarkan problema sehari-hari pada anak-anak di Jakarta dan cara mereka mengatasi masalah mereka sendiri. Salah satu tema yang diusung adalah soal perbedaan dan sikap saling menghargai perbedaan tersebut.
5. Meraih Mimpi (Sing to the Dawn)
Meraih Mimpi adalah film animasi Indonesia yang telah ditayangkan ke sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Timur Tengah, dan Rusia. Bahkan seperti dikutip dari Tempo Interaktif, Managing Direktur Kinema Systrans Multimedia yang memproduksi film tersebut menjelaskan bahwa film ini juga dipasarkan ke Jerman dan Eropa Timur.
Film ini merupakan film animasi tiga dimensi musikal pertama di Indonesia yang mengisahkan perjuangan kakak-adik, Dana dan Rai, dalam mempertahankan desa mereka yang hendak dihancurkan kontraktor bangunan.
Untuk diketahui, Meraih Mimpi dikerjakan oleh 100 animator lokal dari rumah produksi yang bermarkas di Batam dengan biaya produksi mencapai US$ 5 juta. Ide cerita diambil berdasarkan novel karya penulis Singapura, Minfong Ho, dengan judul Sing to the Dawn. Bukunya ditulis pada 1970-an dan menjadi literatur wajib di Singapura. Pemutaran perdana film ini bahkan bukan di Indonesia, melainkan di Singapura.
Pada penayangannya di Singapura film ini berjudul Sing to the Dawn dengan alih suara bahasa Inggris. Film ini memang ditargetkan dapat menembus pasar internasional. Setelah diputar perdana di Singapura pada Oktober 2010. Baru diputar di Indonesia september 2011.
Waktu jeda setahun itu, menurut General Manager Kinema Dewi Pintokoratri, digunakan untuk alih bahasa ke bahasa Indonesia. Karakter utama versi Indonesia diisi suara oleh Gita Gutawa dan penyanyi cilik Indonesian Idol, Patton. Pemutaran di Singapura, film ini hanya mampu meraup 300 ribu penonton.
6. Daun di Atas Bantal
Daun di Atas Bantal merupakan film Indonesia yang digarap pada tahun 1998 dan disutradarai Garin Nugroho. Film ini cukup mendunia dengan beberapa penghargaan Internasional. Mengutip dari Wikipedia.Org, film ini menceritakan tentang seorang ibu yang bernama Asih (Christine Hakim) beserta tiga orang anaknya Heru, Sugeng, dan Kancil yang tinggal di jalanan kota Yogyakarta, Indonesia.
Film ini diproduksi rumah produksi milik Christine Hakim yakni Christine Hakim Film. Meski seharusnya selesai pada bulan Oktober 1997, tetapi akibat krisis ekonomi di Indonesia, akhirnya film ini diselesaikan di Australia. Dana penyelesaian datang dari beberapa sumber seperti Hubert Bals Fund, NHK dan RCTI. Film ini juga sudah dibuatkan untuk versi TV-nya.
Masih menurut Wikipedia, Cerita ini berfokus di mana ketiga anak ini hidup dari menjual ganja dan hidup di jalanan dengan harapan bisa keluar dari kemiskinan mereka. Akar dari permasalahan mereka sebenarnya akibat Asih selalu tidak menghiraukan mereka. Setiap malam ketiga anak ini selalu berkelahi untuk memperebutkan Bantal Daun kepunyaan Asih. tetapi harapan mereka pupus, ketika takdir mereka berakhir tragis.
Adapun penghargaan yang telah diraih film ini yakni
Asia-Pacific Film Festival – 1998 – Best Actress – Christine Hakim
Asia-Pacific Film Festival – 1998 – Best Film
Singapore International Film Festival – 1999 – Unggulan dalam kategori Silver Screen Award Best Asian Feature Film – Garin Nugroho
Tokyo International Film Festival – 1998 – Special Jury Prize – Garin Nugroho
7. Pasir Berbisik
Film Pasir Berbisik disutradarai oleh Nan Achnas. Pada film ini, diperlihatkan keindahan Gunung Bromo yang luar biasa. Selain itu, film ini didukung oleh aktris senior Christine Hakim dengan aktris pendatang baru waktu itu, Dian Sastro Wardoyo.
Akting keduanya dinilai pengamat film sangat memukau. Artis senior lainnya yang mendukung film ini yakni Didi Petet, Dik Doank, Slamet Raharjo, Mang Udel, dan Dessy Fitri.
Pasir Berbisik mampu meraih penghargaan internasional, seperti Best Cinematography Award, Best Sound Award, dan Jury’s Special Award for Most Promising Director untuk Festival Film Asia Pacifik 2001, artis wanita terbaik, Festival Film Asiatique Deauville 2002. Artis wanita terbaik pada Festival Film Antarbangsa Singapura ke-15.
8. Laskar Pelangi
Laskar Pelangi yang disambut baik di Indonesia juga memdapat sambutan positif di dunia internasional. Film yang diadopsi dari novel laris karya Andrea Hirata dengan judul yang sama juga menjadi salah satu film yang diputar pada festival film international fukuoka 2009 di Jepang.
Setelah kesuksesan penayangannya di bioskop tanha air, negara lain seperti Spanyol, Italia, Namibia, Hongkong, Singapura, Jerman, Amerika, Australia, dan Portugal juga ikut menayangkan film tentang mimpi 10 anak di desa terpencil dalam mengenyam pendidikan tersebut.
Film ini akhirnya meraih penghargaan the Golden Butterfly Award untuk kategori film terbaik di International Festival of Film for Children dan Young Adults di Hamedan, Iran. Penghargaan internasional lainnya, yakni pernah menjadi nominasi film terbaik di Berlin International Film Festival tahun 2009, serta editor terbaik asian film 2009 di Hongkong.
Film yang disutradarai Riri Riza itu juga pernah diputar di Barcelona Asian Film Festival 2009 di spanyol,singapore international film festival 2009, 11th Udine Far East Film Festival di Italia, dan Los Angeles Asia Pacific Film Festival 2009 di Amerika Serikat.
9. Denias, Senandung di Atas Awan
Film yang disutradari oleh John de Rantau dan diproduksi pada tahun 2006 ini, dibintangi oleh Albert Thom Joshua Fakdawer, Ari Sihasale, Nia Zulkarnaen dan Marcella Zalianty.
Film ini juga berhasil masuk seleksi panitia Piala Oscar tahun 2008. Dikutip dari Wikipedia, Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak suku pedalaman Papua yang bernama Denias untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Seluruh setting lokasi dilakukan di pulau Cendrawasih ini. Cerita dalam film ini merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang anak Papua yang bernama Janias.
Sebuah film yang harus ditonton oleh mereka yang mengaku peduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Sebuah film yang dapat membuka pandangan kita tentang betapa pendidikan yang layak di negeri ini masih sangat mahal, masih sangat rumit dan masih banyak terjadi diskriminasi-diskriminasi yang tidak masuk akal. Dalam film ini juga dapat kita lihat keindahan provinsi Papua yang berhasil direkam dengan begitu indahnya.
10. The Photograph
The Photograph dirilis pada tahun 2007. Film yang disutradarai oleh Nan Achnas ini sempat juga akan masuk seleksi panitia Piala Oscar tahun 2008 untuk kategori film asing, meski yang akhirnya terpilih hanya film Denias, Senandung di Atas Awan saja. Film ini dibintangi antara lain oleh Indy Barends, Kay Tong Lim, dan Shanty.
The Photograph juga pernah ditayangkan pada ajang Festival Film Internasional Pusan (PIFF) ke-12 di Korea Selatan.

Bangga, Keramahan Indonesia Tercermin di 'Minions'


Bintang.com, Jakarta Selain keindahan alamnya, Indonesia juga terkenal dengan keramahan rakyatnya. Sutradara Pierre Coffin sadar betul akan hal itu. Melalui film terbarunya, 'Minions', Coffin mencoba memberitahu kepada dunia.
Selain sutradara, Coffin juga bertindak sebagai pengisi suara Kevin, Stuart dan Bob di 'Minions'. Di akhir film, penonton akan mendengar ucapan "terima kasih" dari para minion. Suatu hal yang unik bukan?

Minion memang terkenal dengan gaya bicaranya yang unik. Namun, kata "terima kasih" seakan menggambarkan keramahan negeri tercinta. Apalagi, Coffin juga memiliki darah Indonesia dari sang ibu, Nh Dini.
Selain kata "terima kasih", penonton Indonesia juga akan sering melihat Stuart dengan Ukulele. Ukulele adalah alat musik keroncong khas Indonesia. Meski juga ada di Hawaii, namun Ukulele lebih terkenal di tanah air.

Nah, seperti itulah bukti kecintaan Pierre Coffin terhadap Indonesia. Apakah Anda juga ikut bangga dengan keramahan tanah air tercinta? Film 'Minions' sudah dapat Anda saksikan di bioskop-bioskop sejak 17 Juni 2015. 
 
Copyright 2009 AKU CINTA INDONESIAN MOVIE. All rights reserved.
Free WordPress Themes Presented by EZwpthemes.
Bloggerized by Miss Dothy